Asal Usul Teater Tradisional
Mamanda
A. Pengertian Mamanda
Teater
adalah susuna bentuk “seni” yang menggunakan lakon sebagai wujud ekspresinya.
Dalam kazanah seni tradisional di Indonesia diketahui, bentuk teater tradisi
merupakan kombinasi dari bentuk seni seperti tari, musik tetabuhan, lagu
(nyanyian), dan lakon. Bentuk-bentuk teater seperti ini banyak ditemui di
berbagai wilayah Indonesia; mahyong (Pontianak), randai (Sumatra Barat), mendu
(Riau), komedi bangsawan (Sumatra Barat), ketoprak (Jawa), serimulat (Jawa),
lenong (Betawi), mamanda (Kal Sel), peta puang
(Sulawesi Selatan), dan lain-lain.
Istilah mamanda pada teater mamanda
di Kalimantan Selatan ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan
kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada
pengertian saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Sapaan ini berlaku juga untuk
orang yang dianggap sesuai dengan atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata
ini direkatkan dengan morfem nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau
keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini.
Dari
proses itu terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahnda yang mengisyaratkan
keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. Pamanda menjadi sapaan khas
yang biasanya dipergunakan oleh Sultan ketika berdialog dengan Mangkubumi atau
kepala Wajir. Wajir dan Mangkubumi adalah bagian pimpinan kerajaan yang selalu
hadir pada setiap sidang kerajaan. Sistem pemerintahan yang senantiasa menjadi
idealisasi dalam gambaran cerita mamanda, wajir adalah orang yang dituakan atau
yang difungsikan sebagai penasihat raja atau sultan di suatu kerajaan.
Istilah
mamanda menjadi lebih populer diucapkan karena kata ini tidak terikat dengan
keterangan atau pertanyaan lain.
Mamanda
adalah sebuah wujud komunikasi antarmanusia, manusia dengan alam dan
lingkungan. Mamanda tidak sekedar kesenian yang dipelgelarkan, tetapi mamanda
menggambarkan sikap dan prilaku orang dalam wujud alur kehidupan komplit.
Mamanda adalah miniatur jiwa dan prilaku manusia dengan fungsi dan
kedudukannya. Mamanda lebih rekat disebut teater, sebab kontekstualitasnya
menyangkut komunikasi antar tokoh dalam misi-misi kehidupan masa lalu, masa
kini maupun masa datang.
B. Sejarah Mamanda
Asal muasal
Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan
Abdoel Moeloek dari Malaka
tahun 1897. Dulunya
di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan.
Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan
bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar
dengan Badamuluk.
Seiring dengan perkembangan zaman
dan pengaruh budaya massa pada permulaan sampai pertengahan abad 19, Bermula
dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik
Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan
disambut hangat oleh masyarakat Banjar. kesenian damoeloek ini pun sedikit demi
sedikit merubah gaya dan garapannya. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan
sebuah teater baru bernama "Mamanda".
Sebagai kota yang memiliki bandar,
Banjarmasin lebih memungkinkan menjadi sentral pertukaran budaya, sehingga
mamanda juga sudah mulai bergeser dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang
dikenal tradisional populer. Mamanda yang berkembang di Banjarmasin nampaknya
lebih mengutamakan selera pasar.
Ini dibuktikan dengan masuknya
pameran-pameran wanita, rias, dan busana pelakon yang sudah mulai glamor,
ditambah pengembangan posisi humor lebih banyak dibanding yang lain pada setiap
gelar-gelar mamanda. Bahkan, kegiatan mamanda yang biasanya diselenggarakan
dalam durasi empat sampai enam jam sudah bisa dikemas menjadi dua sampai tiga
jam. Dalam perkemabnagan terakhir, malah ada mamanda yang disajikan dalam
durasi 30 menit.
Sumber cerita mamanda yang
dikembangkan di Banjarmasin tidak harus lagi mengikuti pakem cerita syair dan
hikayat, sesekali pelakon sudah menyusun (carangan) cerita sendiri sesuai
keperluan. Kemampuan menyusun cerita dengan menyelenggarakan tema-tema cerita
dengan psiko-sosial masyarakat pasar ini membuat mamanda semakin disenangi.
C. Sumber cerita Mamanda
Kesenian pada umumnya mempunyai
sifat berkembang dan tidak bertahan dalam gaya dan garapan awal. Hal ini karen
aaktivitas berkesenian adalah kreasi dari masa ke masa sesuai dengan
perkembangan pengetahuan dan wawasan estetika penyelenggaraan itu sendiri.
Teater tradisional mamanda dipandang sebagai seni rakyat yang masih mampu
bertahan dalam wujudnya semula, yakni istana dan melayu. Meskipun amat terasa
perkembangan budaya modern cukup menggejala dalam dua dasa warsa terakhir,
tetapi hal ini tidak mempengaruhi perkembangan garapan mamanda.
Berdasarkan beberapa kategori
inspirasi cerita yang dimanfaatkan dalam pagelaran mamanda, sumber cerita dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Sumber cerita yang diambil dari Hikayat,
Syair, dan kisah 1001 malam.
2.
Sumber cerita yang diambil dari
buku-buku roman.
3.
Sumber cerita yang diambil dari
buku-buku sejarah
4.
Sumber cerita yang diambil dari cerita
rakyat.
5.
Sumber cerita yang diambil dari
inspirasi problematik masyarakat kemudian dituliskan dalam skenario cerita
(carangan).
D. Ciri Khas Mamanda
a)
Bahasa
Kedudukan
dan fungsi bahasa Banjar sebagai identitas daerah dan medium pengungkapan
pergaulan masyarakat, berlaku pula untuk pengungkapan pergaulan masyarakat,
berlaku pula untuk pengungkapan kesenian daerah seperti teater tradisional
mamanda. Umumnya bahasa yang dipergunakan dalam teater mamanda adalah bahasa
Melayu Banjar. Medium bahasa Banjar ini setidak-tidaknya telah mampu membawa
nilai rasa sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Banjar sebagai pendukung
teater mamanda. Dengan penggunaan bahasa Melayu Banjar ini, pelakon mamanda
lebih mudah memahami dan mengungkapkan humor dan unsur-unsur budaya dalam
kisahan mamanda yang dibawakan.
Seiring
dengan perkembangan zaman, pelakon mamanda juga turut menyadari bahwa kondisi
penonton mamanda tidak hanya terdiri orang-orang penutur bahasa Banjar, tetapi
masih banyak terdapat penuturan bahasa lain seperti Sunda, Jawa, Madura, Bugis,
Batak, Minang, dan sebagainya, yang sebelumnya masih menggunakan bahasa ibu
mereka masing-masing. Keragaman penonton ini menyadarkan para pelakon mamanda
untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam logat Banjar atau menggunakan bahasa
Banjar dengan campuran bahasa Indonesia.
b)
Simbolisasi
Mamanda
sebagai sebuah bentuk kesenian rakyat tidak hanya menyajikan ekspresi yang
bersifat laudens (permainan), tetapi juga menghantarkan simbol-simbol kehidupan
manusia dalam simulasi makhluk yang berbudaya. Dalam permainan mamanda telah
direkontruksi rasa dan idealisme yang berisi wawasan batin dan wawasan perilaku
orang perorang, baik sebagai rakyat biasa maupun sebagai kelompok penguasa.
Simbol-simbol
yang tersaji dalam mamanda memberi rangsangan terhadap pengalaman imajinatif
terhadap kisah-kisah yang dibawakan. Disinilah mamanda lebih sesuai disebut
sebagai seni tradisi, sebab beberapa simbolnya selalu dikaitkan dengan
komunikasi budaya.
Simbolisasi
lain, yang menyaran pada rekadaya kemanusiaan adalah hadirnya unsur-unsur
properti seperti meja, tongkat pendek, lawangan basar (pintu gerbang) yang
menyaran pada aspek pemerintahan dan kekuasaan.
Rekadaya
normatif simbol-simbol mamanda tersebut telah membangun pengalaman konkrit yang
bersifat ideal dan metafisik.
Simbol-simbol
lain yang juga bisa saja hadir dalam kisah-kisah mamanda tergantung pada
keperluan cerita.
Simbol
dalam teater tradisional mamanda nampak bersifat multiinterpretabel. Setiap
fungsi simbol tersebut memiliki substansi penalaran sendiri yang bersifat etika
dan moral, bahkan ideologis.
c)
Humor
Secara
hirarki munculnya humor dalam sistem budaya masyarakat Banjar di Kalimantan
Selatan adalah dari peristiwa bacupatian (main tebak-tebakan) dalam bentuk
bahasa verbal. Dari peristiwa ini memunculkan permainan lain yaitu mahalabio.
Peristiwa ini memunculkan lagi kebiasaan menyampaikan cerita-cerita lucu yang
disebut balucuan. Balucuan adalah bercerita atau bertingkah laku lucu sehingga
menimbulkan rasa terhibur dan tertawa. Semua peristiwa ini dapat dikatagorikan
humor.
Ideasi
teater mamanda melakukan perubahan dengan mencoba menggarap hal-hal ya berisi
humor, termasuk upaya memasukkan lagu-lagu dangdut di sela-sela pergelaran
mamanda. Modus seperti ini ternyata cukup efektif untuk menambah kembali emosi
penonton terhadap teater tradisional mamanda.
Humor-humor
yang biasanya disajikan dalam pagelaran mamanda dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
·
Humor bahasa
·
Humor tngkah laku
·
Humor pergunjingan
·
Humor pornografi
d) Estetika
Mamanda
Teater
tradisional mamanda adalah sebuah model interaksi manusia dengan segala
kedudukan dan fungsinya serta dikemas dalam justifikasi ekspresi tari, lagu,
dan tetabuhan, simbol yang disimbiosekan dengan nilai kearifan lokal (Kultur
Banjar).
Estetika
lain dari gambaran teater tradisional mamanda adalah struktur yang bergerak
mengikuti alur cerita yang bermula dari ladon, sidang kerajaan, jalan cerita,
dan babujukan (antiklimaks).
Pola
estetika mamanda seperti ini tentu berbeda dengan bentuk-bentuk dan estetika
teater modern yang sering menyajikan sesuatu yang absurd, illogical. Hal ini
karena teater moderen hadir dan dihubungkan dengan tingkat berpikir audiens
penonton yang lebih bebas sesuai dengan tingkat pemahaman mereka terhadap
problematik kehidupan zaman moderen.
E.
Mamanda : sebuah Model Interaksi Sosial
Mamanda disadari lahir dari kebutuhan emosi kolektif masyarakat
Banjar masa lalu. Teater tradisional ini dapat bertahan sampai sekarang
merupakan bukti bahwa kesenian ini mendapat perhatian dan partisipasi aktif
masyarakat. Mamanda menjadi salah satu tambatan hati masyarakat Banjar yang
dikenal sebagai bagian dari rumpun Melayu. Ada kesamaan emosi antara nuansa
budaya Banjar yang direkadaya dalam teater mamanda dengan budaya Melayu Banjar
di Kalimantan Selatan.
Peran mamanda dalam sepak terjangnya yang ditata sedemikian
rupa, sesungguhnya merupakan sebuah model interaksi dengan kesenian lain, yang
secara analog juga merupakan model interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat
Banjar di Kalimantan Selatan.
F.
Mamanda: di Belantika Teater Kalimantan Selatan
Mamanda mestilah
dibagun dari titik perjuangan yang memang sulit. Tidak semua teater tradisi
yang dimiliki oleh masyarakat lain di nusantara bisa lebih dikenal di
Indonesia. Hal ini tergantung pada jam terbang teater tesebut untuk bisa
dikenal di tengah masyarakat umum. Ini termasuk pula kemampuan publikasi siaran
televisi dan kesediaan mereka untuk menampilkan teater itu kepada penonton
dengan jangkauan yang lebih luas.
Perjalanan teater tradisi mamanda yang mampu melampaui
popularitas teater moderen di Kalimantan Selatan adalah sebuah perjuangan
meraih kebebesan dari bentuk-bentuk statis yang mengurung dirinya sendiri.
Sekiranya teater mamanda tidak melakukan retropeksi pada masa-masa lalu.
Teater di Kalimantan Selatan nampaknya belum bisa membebaskan ketergantungannya
dengan Disbudpar atau juga Taman Budaya.
Dalam hal teknis penyajian, teater mamanda sudah mencoba
melepaskan diri dari sikap pengucapan tradisi mengikat. Mereka lebih cepat
melakukan perubahan dan adaptasi. Bukan hanya visi pelakon yang berubah sesuai
dengan tuntutan zaman berkenaan dengan bentuk dan format teater tradisi
mamanda, tetapi juga menyangkut penonton yang mereka hadapi.
Pengucapan-pengucapan teater tradisional mamanda dalam beberapa
konsep pergelaran nampaknya memang lebih bebas dibanding dengan teater moderen
di Kalimantan Selatan.
Kredibilitas
lain yang juga mesti dicatat di sini adalah jam terbang yang sudah diperoleh
teater ini. Teater mamanda sudah melakukan eksebisi tidak hanya di lingkup
daerah tetapi juga tampil di berbagai daerah di Indonesi
DAFTAR PUSTAKA
Jarkasi. 2002. Mamanda Seni Pertunjukkan Banjar. Banjarmasin: PT. Grafika Wangi
Kalimantan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar