Saling berbagi lewat sebuah tulisan yang mungkin bisa membuat mudah hidup orang lain adalah sesuatu yang membuat seorang Faa merasa bahagia ^_^

Jumat, 25 Mei 2012

Asal usul mamanda ^_^


Asal Usul Teater Tradisional Mamanda
A. Pengertian Mamanda
            Teater adalah susuna bentuk “seni” yang menggunakan lakon sebagai wujud ekspresinya. Dalam kazanah seni tradisional di Indonesia diketahui, bentuk teater tradisi merupakan kombinasi dari bentuk seni seperti tari, musik tetabuhan, lagu (nyanyian), dan lakon. Bentuk-bentuk teater seperti ini banyak ditemui di berbagai wilayah Indonesia; mahyong (Pontianak), randai (Sumatra Barat), mendu (Riau), komedi bangsawan (Sumatra Barat), ketoprak (Jawa), serimulat (Jawa), lenong (Betawi),  mamanda (Kal Sel),  peta puang  (Sulawesi Selatan),  dan lain-lain.
            Istilah mamanda pada teater mamanda di Kalimantan Selatan ditengarai berasal dari kata paman. Kata ini merupakan kata sapaan dalam sistem kekerabatan masyarakat Banjar, yang merujuk pada pengertian saudara laki-laki dari ayah atau ibu. Sapaan ini berlaku juga untuk orang yang dianggap sesuai dengan atau sebaya dengan ayah atau orang tua. Kata ini direkatkan dengan morfem nda sebagai sebuah sugesti kekerabatan atau keakraban dengan orang yang disapa dengan sapaan ini.
Dari proses itu terbentuklah kata pamanda, mamanda, ayahnda yang mengisyaratkan keakraban dengan kata sapaan dasar yang dirujuknya. Pamanda menjadi sapaan khas yang biasanya dipergunakan oleh Sultan ketika berdialog dengan Mangkubumi atau kepala Wajir. Wajir dan Mangkubumi adalah bagian pimpinan kerajaan yang selalu hadir pada setiap sidang kerajaan. Sistem pemerintahan yang senantiasa menjadi idealisasi dalam gambaran cerita mamanda, wajir adalah orang yang dituakan atau yang difungsikan sebagai penasihat raja atau sultan di suatu kerajaan.
Istilah mamanda menjadi lebih populer diucapkan karena kata ini tidak terikat dengan keterangan atau pertanyaan lain.
Mamanda adalah sebuah wujud komunikasi antarmanusia, manusia dengan alam dan lingkungan. Mamanda tidak sekedar kesenian yang dipelgelarkan, tetapi mamanda menggambarkan sikap dan prilaku orang dalam wujud alur kehidupan komplit. Mamanda adalah miniatur jiwa dan prilaku manusia dengan fungsi dan kedudukannya. Mamanda lebih rekat disebut teater, sebab kontekstualitasnya menyangkut komunikasi antar tokoh dalam misi-misi kehidupan masa lalu, masa kini maupun masa datang.
B. Sejarah Mamanda
            Asal muasal Mamanda adalah kesenian Badamuluk yang dibawa rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka tahun 1897. Dulunya di Kalimantan Selatan bernama Komedi Indra Bangsawan. Persinggungan kesenian lokal di Banjar dengan Komedi Indra Bangsawan melahirkan bentuk kesenian baru yang disebut sebagai Ba Abdoel Moeloek atau lebih tenar dengan Badamuluk.
            Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya massa pada permulaan sampai pertengahan abad 19, Bermula dari kedatangan rombongan bangsawan Malaka (1897 M) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa di Tanah Banjar, kesenian ini dipopulerkan dan disambut hangat oleh masyarakat Banjar. kesenian damoeloek ini pun sedikit demi sedikit merubah gaya dan garapannya. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama "Mamanda".
            Sebagai kota yang memiliki bandar, Banjarmasin lebih memungkinkan menjadi sentral pertukaran budaya, sehingga mamanda juga sudah mulai bergeser dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang dikenal tradisional populer. Mamanda yang berkembang di Banjarmasin nampaknya lebih mengutamakan selera pasar.
            Ini dibuktikan dengan masuknya pameran-pameran wanita, rias, dan busana pelakon yang sudah mulai glamor, ditambah pengembangan posisi humor lebih banyak dibanding yang lain pada setiap gelar-gelar mamanda. Bahkan, kegiatan mamanda yang biasanya diselenggarakan dalam durasi empat sampai enam jam sudah bisa dikemas menjadi dua sampai tiga jam. Dalam perkemabnagan terakhir, malah ada mamanda yang disajikan dalam durasi 30 menit.
            Sumber cerita mamanda yang dikembangkan di Banjarmasin tidak harus lagi mengikuti pakem cerita syair dan hikayat, sesekali pelakon sudah menyusun (carangan) cerita sendiri sesuai keperluan. Kemampuan menyusun cerita dengan menyelenggarakan tema-tema cerita dengan psiko-sosial masyarakat pasar ini membuat mamanda semakin disenangi.
C. Sumber cerita Mamanda
            Kesenian pada umumnya mempunyai sifat berkembang dan tidak bertahan dalam gaya dan garapan awal. Hal ini karen aaktivitas berkesenian adalah kreasi dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan wawasan estetika penyelenggaraan itu sendiri. Teater tradisional mamanda dipandang sebagai seni rakyat yang masih mampu bertahan dalam wujudnya semula, yakni istana dan melayu. Meskipun amat terasa perkembangan budaya modern cukup menggejala dalam dua dasa warsa terakhir, tetapi hal ini tidak mempengaruhi perkembangan garapan mamanda.
            Berdasarkan beberapa kategori inspirasi cerita yang dimanfaatkan dalam pagelaran mamanda, sumber cerita dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.        Sumber cerita yang diambil dari Hikayat, Syair, dan kisah 1001 malam.
2.        Sumber cerita yang diambil dari buku-buku roman.
3.        Sumber cerita yang diambil dari buku-buku sejarah
4.        Sumber cerita yang diambil dari cerita rakyat.
5.        Sumber cerita yang diambil dari inspirasi problematik masyarakat kemudian dituliskan dalam skenario cerita (carangan).
D. Ciri Khas Mamanda
a)        Bahasa
Kedudukan dan fungsi bahasa Banjar sebagai identitas daerah dan medium pengungkapan pergaulan masyarakat, berlaku pula untuk pengungkapan pergaulan masyarakat, berlaku pula untuk pengungkapan kesenian daerah seperti teater tradisional mamanda. Umumnya bahasa yang dipergunakan dalam teater mamanda adalah bahasa Melayu Banjar. Medium bahasa Banjar ini setidak-tidaknya telah mampu membawa nilai rasa sistem sosial dan sistem budaya masyarakat Banjar sebagai pendukung teater mamanda. Dengan penggunaan bahasa Melayu Banjar ini, pelakon mamanda lebih mudah memahami dan mengungkapkan humor dan unsur-unsur budaya dalam kisahan mamanda yang dibawakan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pelakon mamanda juga turut menyadari bahwa kondisi penonton mamanda tidak hanya terdiri orang-orang penutur bahasa Banjar, tetapi masih banyak terdapat penuturan bahasa lain seperti Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Batak, Minang, dan sebagainya, yang sebelumnya masih menggunakan bahasa ibu mereka masing-masing. Keragaman penonton ini menyadarkan para pelakon mamanda untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam logat Banjar atau menggunakan bahasa Banjar dengan campuran bahasa Indonesia.

b)        Simbolisasi
Mamanda sebagai sebuah bentuk kesenian rakyat tidak hanya menyajikan ekspresi yang bersifat laudens (permainan), tetapi juga menghantarkan simbol-simbol kehidupan manusia dalam simulasi makhluk yang berbudaya. Dalam permainan mamanda telah direkontruksi rasa dan idealisme yang berisi wawasan batin dan wawasan perilaku orang perorang, baik sebagai rakyat biasa maupun sebagai kelompok penguasa.
Simbol-simbol yang tersaji dalam mamanda memberi rangsangan terhadap pengalaman imajinatif terhadap kisah-kisah yang dibawakan. Disinilah mamanda lebih sesuai disebut sebagai seni tradisi, sebab beberapa simbolnya selalu dikaitkan dengan komunikasi budaya.
Simbolisasi lain, yang menyaran pada rekadaya kemanusiaan adalah hadirnya unsur-unsur properti seperti meja, tongkat pendek, lawangan basar (pintu gerbang) yang menyaran pada aspek pemerintahan dan kekuasaan.
Rekadaya normatif simbol-simbol mamanda tersebut telah membangun pengalaman konkrit yang bersifat ideal dan metafisik.
Simbol-simbol lain yang juga bisa saja hadir dalam kisah-kisah mamanda tergantung pada keperluan cerita.
Simbol dalam teater tradisional mamanda nampak bersifat multiinterpretabel. Setiap fungsi simbol tersebut memiliki substansi penalaran sendiri yang bersifat etika dan moral, bahkan ideologis.



c)        Humor
Secara hirarki munculnya humor dalam sistem budaya masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan adalah dari peristiwa bacupatian (main tebak-tebakan) dalam bentuk bahasa verbal. Dari peristiwa ini memunculkan permainan lain yaitu mahalabio. Peristiwa ini memunculkan lagi kebiasaan menyampaikan cerita-cerita lucu yang disebut balucuan. Balucuan adalah bercerita atau bertingkah laku lucu sehingga menimbulkan rasa terhibur dan tertawa. Semua peristiwa ini dapat dikatagorikan humor.
Ideasi teater mamanda melakukan perubahan dengan mencoba menggarap hal-hal ya berisi humor, termasuk upaya memasukkan lagu-lagu dangdut di sela-sela pergelaran mamanda. Modus seperti ini ternyata cukup efektif untuk menambah kembali emosi penonton terhadap teater tradisional mamanda.
Humor-humor yang biasanya disajikan dalam pagelaran mamanda dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
·           Humor bahasa
·           Humor tngkah laku
·           Humor pergunjingan
·           Humor pornografi

d)       Estetika Mamanda
Teater tradisional mamanda adalah sebuah model interaksi manusia dengan segala kedudukan dan fungsinya serta dikemas dalam justifikasi ekspresi tari, lagu, dan tetabuhan, simbol yang disimbiosekan dengan nilai kearifan lokal (Kultur Banjar).
Estetika lain dari gambaran teater tradisional mamanda adalah struktur yang bergerak mengikuti alur cerita yang bermula dari ladon, sidang kerajaan, jalan cerita, dan babujukan (antiklimaks).
Pola estetika mamanda seperti ini tentu berbeda dengan bentuk-bentuk dan estetika teater modern yang sering menyajikan sesuatu yang absurd, illogical. Hal ini karena teater moderen hadir dan dihubungkan dengan tingkat berpikir audiens penonton yang lebih bebas sesuai dengan tingkat pemahaman mereka terhadap problematik kehidupan zaman moderen.

E. Mamanda : sebuah Model Interaksi Sosial
     Mamanda disadari lahir dari kebutuhan emosi kolektif masyarakat Banjar masa lalu. Teater tradisional ini dapat bertahan sampai sekarang merupakan bukti bahwa kesenian ini mendapat perhatian dan partisipasi aktif masyarakat. Mamanda menjadi salah satu tambatan hati masyarakat Banjar yang dikenal sebagai bagian dari rumpun Melayu. Ada kesamaan emosi antara nuansa budaya Banjar yang direkadaya dalam teater mamanda dengan budaya Melayu Banjar di Kalimantan Selatan.
     Peran mamanda dalam sepak terjangnya yang ditata sedemikian rupa, sesungguhnya merupakan sebuah model interaksi dengan kesenian lain, yang secara analog juga merupakan model interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.

F. Mamanda: di Belantika Teater Kalimantan Selatan
     Mamanda mestilah dibagun dari titik perjuangan yang memang sulit. Tidak semua teater tradisi yang dimiliki oleh masyarakat lain di nusantara bisa lebih dikenal di Indonesia. Hal ini tergantung pada jam terbang teater tesebut untuk bisa dikenal di tengah masyarakat umum. Ini termasuk pula kemampuan publikasi siaran televisi dan kesediaan mereka untuk menampilkan teater itu kepada penonton dengan jangkauan yang lebih luas.
     Perjalanan teater tradisi mamanda yang mampu melampaui popularitas teater moderen di Kalimantan Selatan adalah sebuah perjuangan meraih kebebesan dari bentuk-bentuk statis yang mengurung dirinya sendiri. Sekiranya teater mamanda tidak melakukan retropeksi pada masa-masa lalu.
     Teater di Kalimantan Selatan nampaknya belum bisa membebaskan ketergantungannya dengan Disbudpar atau juga Taman Budaya.
     Dalam hal teknis penyajian, teater mamanda sudah mencoba melepaskan diri dari sikap pengucapan tradisi mengikat. Mereka lebih cepat melakukan perubahan dan adaptasi. Bukan hanya visi pelakon yang berubah sesuai dengan tuntutan zaman berkenaan dengan bentuk dan format teater tradisi mamanda, tetapi juga menyangkut penonton yang mereka hadapi.

     Pengucapan-pengucapan teater tradisional mamanda dalam beberapa konsep pergelaran nampaknya memang lebih bebas dibanding dengan teater moderen di Kalimantan Selatan.
     Kredibilitas lain yang juga mesti dicatat di sini adalah jam terbang yang sudah diperoleh teater ini. Teater mamanda sudah melakukan eksebisi tidak hanya di lingkup daerah tetapi juga tampil di berbagai daerah di Indonesi


DAFTAR PUSTAKA
Jarkasi. 2002. Mamanda Seni Pertunjukkan Banjar. Banjarmasin: PT. Grafika Wangi Kalimantan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar